Pengaruh Ulama Dalam Kontestasi Politik di Pulau Lombok

Pengaruh Ulama - Sumber ITS
Pengaruh Ulama - Sumber ITS

Pengaruh Ulama Dalam Kontestasi Politik di Pulau Lombok menjadi fenomena sosial yang sering menjadi pembahasan dan topik utama dalam kontestasi politik adalah keikutsertaan calon-calon yang berasal dari tokoh agama dan kalangan ulama moderat dalam ajang pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden sekalipun. Dalam beberapa artikel dan berita-berita di media massa, tidak sedikit yang memberitakan mengenai ajang politik terutama dalam pemilihan umum yang melibatkan tokoh-tokoh agama sebagai calonnya. Sebagai contoh yang sangat terkenal adalah Pemilu Presiden 2019 yang pada saat itu menjadi wakilnya Bapak Jokowi adalah Bapak K.H Ma’ruf Amin. Tidak hanya itu, dalam Pemilihan Gubernur NTB pada tahun 2008-2018 yang keluar sebagai pemenang adalah tokoh agama yaitu TGB. K.H. M. Zainul Majdi. Apa yang sebenarnya terjadi? dan bagaimana pengaruh tokoh agama dalam memenangkan kontestasi politik?

Ulama merupakan tokoh agama yang memiliki pengaruh besar dalam kontestasi politik di Indonesia baik sebagai pendukung atau bahkan pemain sekalipun karena pengetahuan dominan masyarakat mayoritas terhadap dukungan agama lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh lainnya. Menurut Fealy (2011), pengaruh yang dibangun oleh ulama dan tokoh agama terutama dalam institusi pendidikan islam seperti pesantren menempatkan diri ulama seperti kyai di Jawa Timur, tuan guru di Nusa Tenggara Barat dan lain sebagainya menjadi patron dengan modal pengetahuan agamanya. Kyai dan tuan guru ini juga berperan sebagai pembina atau pendiri pesantren tertentu yang juga merupakan wadah bagi ribuan orang yang menimba ilmu agama disana sehingga baik yang telah lulus atau bahkan masih menyantri tetap akan patuh terhadap perkataan dan instruksi dari kyai atau tuan guru mereka. Inilah kaitan antara pesantren dan tokoh ulama dalam memainkan peran besar dalam arus perpolitikan di Indonesia dewasa ini.

Pengaruh Ulama Dalam Konteks Politik Lokal

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2014 tercatat jumlah pemilih di Jawa Timur dalam Pemilihan Umum sebanyak 30.933.642 orang. Sebuah angka yang sangat besar dibandingkan dengan provinsi lainnya seperti Nusa Tenggara Barat yang hanya mencapai 3.579.559 orang. Dengan jumlah pemilih sebanyak itu pastinya akan memberikan dampak yang besar terhadap faktor pemenangan pemilihan presiden dan wakil presiden. Apalagi jika kita membandingkan dengan perkembangan jumlah pemilih pada tahun 2022 atau bahkan nantinya di 2024 pastinya akan lebih besar lagi. Dengan mayoritas pemegang suara yang kebanyakan adalah beragama islam pasti akan banyak masyarakat yang cenderung untuk mementingkan pengaruh agama dalam memilih sosok pemimpin. Hal ini terbukti pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019 kemarin. Bapak Jokowi memilih Bapak K.H Ma’ruf Amin bukan tanpa sebab dan alasan. Ternyata beliau sendiri adalah seorang Ra’is Aam PBNU dan sebagai Ketua MUI yang mana itu adalah jabatan tertinggi dalam bidang agama islam apalagi gelar Ra’is Aam PBNU tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Tentu dengan jabatan tersebut akan dengan mudah menggiring banyak pemilih terutama di pulau jawa yang terkenal dengan lumbung suara PBNU karena banyak pengikut organisasi tersebut disana.

Dengan memanfaatkan suara-suara dari mayoritas pemilih yang bergabung dengan NU atau bahkan orang-orang yang simpati terhadap NU baik itu dari kalangan pesantren, orang tua, keluarga, saudara dan bahkan masyarakat umum pun yang memiliki hubungan baik dengan orang-orang NU pasti akan memilih tokoh-tokoh yang berasal dari golongan tersebut. Ternyata usaha yang dilakukan oleh Bapak Jokowi tidak salah, beliau dapat memenangkan kontestasi pemilihan presiden tahun 2019 bersama wakilnya Bapak K.H Ma’ruf Amin. Jika kita telaah lebih lanjut ternyata dapat disimpulkan bahwa pengaruh agama terhadap faktor kemenangan seorang calon berlaku secara umum di Indonesia. Tidak semua daerah, namun sebagian besar masih memegang prinsip bahwa agama seseorang tetap akan dilihat sebagai faktor utama memilih kandidat tersebut terlepas dari faktor lainnya.

Di konteks politik lokal, pengaruh ulama yang signifikan di masyarakat membuat beberapa dari mereka mampu mengamankan posisi sebagai kepala daerah, terutama di daerah- daerah lumbung masyarakat Islam tradisional. Sebut saja KH. Robbach Ma’sum (Bupati Gresik 2000-2005), KH. Kholilurrahman (Bupati Pamekasan 2008-2013), atau KH. Abuya Busyro Karim (Bupati Sumenep 2010-2015). Kasus yang sama terjadi pada Pemilihan Gubernur NTB tahun 2008 ketika TGB. KH. M. Zainul Majdi mencalonkan diri dengan didukung dua partai kecil yaitu PBB dan PKS. Beliau yang merupakan cucu Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid atau lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Pancor (TGP) seorang pendiri Nadhlatul Wathan, Organisasi Islam terbesar di NTB. TGB mampu mengalahkan calon gubernur petahana yang pada saat itu ikut mencalonkan diri sebagai kandidat yaitu Lalu Seranata. TGB memenangkan kontestasi dengan jumlah suara mencapai 36,72% mengalahkan petahana sebesar 28,75%. Dengan pengalaman yang minim sebagai politisi bahkan baru pertama kali terjun dalam bidang politik memberikan sebuah kejutan besar dengan kemenangan TGB sebagai gubenur NTB bahkan didaulat menjadi Gubernur termuda pada masanya yang berlatar organisasi massa.

Pengaruh Ulama - Sumber Antaranews
Pengaruh Ulama – Sumber Antaranews

Hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah gambaran besarnya pengaruh agama dan tokoh agama dalam kancah perpolitikan bahkan dalam prosesi kemenangan seorang calon dalam pemilu. Baik ditingkat daerah maupun nasional sekalipun agama selalu menjadi pokok utama yang menjadi incaran dalam memenangkan seorang kandidat yang diusungnya. Dari fenomena sosial dan realita yang terjadi di lapangan tersebut memberikan satu point of view baru kepada kita bahwa agama tidak dapat diremehkan dan diselewengkan dalam kontestasi politik bahkan tokoh agama sekalipun bergabung dalam partai politik dan mencalonkan diri sebagai calon untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan terlepas dari niat yang dimilikinya. Dengan bermodalkan pengaruh agama dan kekuasaan dari segi agama baik sebagai pemimpin pondok pesantren yang sudah besar atau bahkan pemimpin sebuah organisasi keagamaan terbesar di suatu tempat menjadikan seseorang memiliki kekuatan besar untuk dapat menang dalam pemilihan tersebut.

Memahami hubungan antara agama dan politik memang dinamis tidak ada poin dan cara pasti untuk mengukurnya, selalu ada ritme yang berbeda di setiap daerah maupun dalam beberapa kesempatan konstestasi politik. Namun, dalam melihat hubungan ini terutama masyarakat Nusa Tenggara Barat penulis dapat memberikan beberapa alasan yang baku. Secara tipikal, muslim Sasak di Lombok masih secara relatif berkultur tradisional, berkesadaran paternalistik, serta bermental agraris (Umam, 2009) karenanya, Tuan Guru kemudian menjadi entitas yang menentukan pembentukan wacana, terutama wacana keagamaan di masyarakat muslim Nusa Tenggara Barat. Menjadi tempat bergantung masyarakat muslim Sasak, terutama terkait wacana agama, sosial, bahkan politik. Itulah sebab utama banyak masyarakat yang menggantungkan pengetahuan dan bahkan pilihan mereka kepada putusan dari tuan guru yang mereka ikuti. Dengan satu arahan saja, satu tuan guru dapat menggerakkan suara dari ratusan orang yang nantinya akan diserukan lagi kepada orang tua, pasangan, keluarga dan bahkan anak keturunannya. Titah inilah yang semakin lama menjadikan otoritas dari tuan guru di NTB tidak hanya sebagai seorang ulama yang mengajarkan agama, tetapi pemegang kepentingan terhadap pilihan politik pengikutnya.

Untuk melihat bagaimana pengaruh ulama dalam kontestasi politik dapat dilihat dari peristiwa yang terjadi di Nusa Tenggara Barat yaitu perpecahan Nahdlatul Wathan yang menjadi dua kubu pasca meninggalnya Tuan Guru Pancor sebagai pemimpin resmi. Beliau meninggalkan dua orang anak yang sama-sama adalah perempuan. Menurut beberapa kalangan masyarakat terutama yang berorientasi tradisi islam bahwa yang layak menjadi seorang pemimpin adalah laki-laki. Kedua kubu akhirnya pecah dan memiliki dua pusat yang berbeda dibandingkan sebelumnya yaitu satu di Pancor dan satunya di Anjani. Hal menarik dari kisah ini adalah ketika terjadi perpecahan kubu ini tidak lantas menjadikan pesantren dan bahkan induk pendidikan NW menjadi berkurang, lantas kenyataannya menjadi semakin bertambah. Dalam kurun waktu 12 tahun dihitung dari awal konflik keduanya, lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan telah berkembang hingga mencapai 900 buah yang tersebar di bermacam daerah di Nusa Tenggara Barat, meningkat hampir setengah dari lembaga pendidikan yang diciptakan oleh Tuan Guru Pancor (Muhtar, 2010).

Dengan jumlah lembaga pendidikan seperti pesantren dan sekolah-sekolah baru tentu akan menimbulkan dampak sosial yang baru terutama bagi para tuan guru. Banyak lulusan dari pesantren tersebut yang juga mendirikan pesantren baru mereka baik yang langsung memiliki kaitan dengan NW atau bahkan ada afiliasi kerja sama dengan NW. Semuanya memiliki satu visi dan tujuan dengan NW yang menjadikan mereka pastinya akan mengikuti seluruh arahan yang diberikan oleh para petinggi NW. Dari 900 lebih pesantren tersebut yang utamanya terletak di Lombok Timur memberikan kepada kita sebuah analisa baru bahwa dengan adanya kekuatan massa yang besar dari pengikut NW saja akan memberikan jumlah kantong suara yang banyak kepada seorang calon yang akan didukung oleh NW itu sendiri. Terlepas dari pilihan sendiri yang biasa jumlahnya kadang tidak sebanding dengan masyarakat yang mengikuti arahan politik dari tuan guru yang mereka ikuti. Apalagi dalam tradisi masyarakat lokal dan tradisional terutama yang belum tersentuh banyak dengan modernisasi dan globalisasi masih menitikberatkan segala sesuatu permasalahan kepada tuan guru atau tokoh agama yang mereka yakini. Ulama yang memiliki ilmu dan memiliki wibawa bahkan namanya sudah terkenal seperti TGB yang merupakan lulusan dari Universitas Al-Azhar bahkan sampai dengan S3 menjadikan hampir seluruh masyarakat di NTB khususnya di Lombok menaruh kepercayaan besar terhadap arahan yang disampaikan oleh beliau.

Baca Juga: Teori Keterlekatan (Embeddedness) Pada Fenomena Ojek Online

Bahkan pada pemilihan presiden tahun 2014 saat TGB menjadi Ketua Timses Prabowo- Hatta Rajasa, suara yang dimiliki oleh Prabowo memiliki angka yang tinggi dibandingkan lawannya yaitu 72,45% melawan 27,55% (Puskapol.ui.ac.id, 2019). Jumlah ini jika kita kaitkan kembali dengan terpilihnya TGB menjadi Ketua Timses salah satu pasangan presiden dan wakil presiden tentu akan memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat NTB kepada siapa mereka harus memilih nantinya. Jawabannya tentu sudah pasti yaitu kepada orang yang didukung oleh ulama dan tuan guru mereka dan ternyata hasil di lapangan sudah menentukan hal tersebut. Prabowo menang jauh sebesar 72,45% di NTB. Hasil ini bukan tidak mungkin adalah hasil dari figur seorang TGB sebagai ulama dan juga Ketua PBNW pada masa itu yang memungkinkannya untuk memberikan titah kepada pesantren atau bahkan tuan guru untuk mendukung pilihannya tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya tulisan ini dibuat untuk dapat menjelaskan fenomena sosial yang belakangan ini terjadi di masyarakat kita khususnya pada kontestasi politik yang menjadikan seorang ulama dan tokoh agama menjadi pusat perhatian karena pengaruhnya dapat memberikan dukungan atau bahkan pemain yang dapat memberikan kemenangan mudah dalam perpolitikan. Pengaruh kyai di pulau jawa bahkan tuan guru di NTB menjadi faktor penting terhadap kemenangan beberapa calon yang berlatar belakang agama islam dan ulama dalam memenangkan perhelatan politik nasional. Kyai Ma’ruf dan TGB menjadi realitas nyata bahwa agama tidak sekadar sebagai ibadah, namun juga mampu memberikan dukungan suara politik besar dalam kontestasi pemilihan baik di daerah maupun nasional.

Referensi:

Fealy, G. (2011). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952- 1967. Yogyakarta: Penerbit LKiS.

Umam, F. (2009). Tera Ulang Peran Profetik Tuan Guru dalam Konteks Kebebasan Beragama di Pulau Lombok. Ulumuna, Volume XIII.

Muhtar, F. (2010). Konflik dalam Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlathul Wathan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel.

Puskapol UI. 2019. Hasil Pilpres 2014. Diakses 8 Desember 2022. https://www.puskapol.ui.ac.id/hasil-pilpres-2014.

Oktara, A. (2015). Politik Tuan Guru di Nusa Tenggara Barat. Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 73-82.