Studi Kasus Konflik Dr Terawan VS IDI Dalam Sosiologi Organisasi terutama permasalahan organisasi ikatan kedokteran indonesia atau IDI baru-baru ini menjadi topik perbincangan yang hangat terkait konflik yang terjadi dengan Dr. Terawan. Masalah kritis yang terjadi antara Dr. Terawan dengan organisasi Ikatan Dokter Indonesia bermula saat Dr. Terawan memperkenalkan salah satu terapi cuci otak yang digunakannya untuk menyembuhkan kanker. Kemudian, setelah menimbang dan menyelidiki hal tersebut, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan pemberhentian dirinya dari keanggotaan IDI melalui Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh. Hal ini lantaran alasan kesahihan metode ilmiah dan dirasa belum memenuhi uji klinis yang layak untuk dapat diterapkan pada manusia.
Fakta yang dilontarkan oleh IDI tidak lain dan tidak bukan karena tingkat bahaya serta kesulitan dalam terapi ini yang sangat tinggi sehingga dapat membahayakan manusia seperti yang saya jelaskan pada presentasi lalu. Terapi cuci otak atau metode Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) sebagai sebuah terapi untuk “mencuci” otak seseorang dari sel-sel ganas yang ada di setiap bagian otak tersebut demi menyembuhkan seseorang dari penyakit kanker. Terapi ini kemudian dijalankan dengan membuka otak seseorang dan mencucinya dari dalam dengan beragam obat-obatan dan juga menghilangkan sel-sel jahat yang ada di otak tersebut. Dari cara yang dilakukan dapat diketahui bahwa metode ini murni sangat-sangat berbahaya apalagi bila ada kesalahan dalam prosedurnya. IDI yang beranggotakan dokter-dokter hebat di seluruh Indonesia tidak mungkin salah dalam menilai sebuah terapi kesehatan.
Tidak hanya itu, konflik antara Dr. Terawan dan IDI juga dilatarbelakangi pelanggaran kode etik kedokteran yang dilakukannya. Salah satunya adalah seluruh jurnal ilmiah dan penelitian yang dilakukan Dr. Terawan tidak sesuai dengan format Evidence based medicine (EBM). Penelitian Dr. Terawan juga tidak memenuhi syarat untuk digunakan dasar pemberian terapi. Dalam standar kompetensi dokter spesialis radiologi yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) juga tidak memuat IAHF ataupun modifikasi DSA sebagai tindakan terapi. Inilah dasar yang digunakan oleh IDI sebagai pertimbangan dalam pemecatan Dr. Terawan sebagai anggota IDI.
Masalah utamanya adalah saat terjadi pemecatan Dr. Terawan sebagai anggota IDI banyak pro dan kontra yang muncul di masyarakat terutama di sosial media. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat mendukung Dr. Terawan sebagai dokter yang inovatif, memunculkan metode baru, mengembangkan suatu terapi yang bahkan tidak seorang pun dapat melakukannya. Sebagai anak bangsa yang hebat dan juga kreatif, masyarakat menganggap Dr. Terawan seharusnya dilindungi bukan dipecat sebagai anggota IDI. Hal ini pun masuk sebagai sebuah topik bahasan di gedung DPR RI Senayan. Banyak anggota dewan yang menekan agar pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan dapat mengambil jalan tengah dalam menangani konflik antara Dr. Terawan dengan organisasi Ikatan Dokter Indonesia.
Studi Kasus Dr Terawan VS IDI Dalam Pandangan Sosiologi Organisasi
Salah satu teori sosiologi yang dapat membaca dan menjelaskan polemik antara Dr. Terawan dan juga IDI adalah teori konflik. Sangat jelas bahwa permasalahan yang terjadi antara Dr. Terawan dan juga IDI disebabkan oleh konflik kepentingan bahkan juga terdapat unsur politik. Teori konflik digagas oleh Karl Marx yang menjelaskan bahwa semua masyarakat dibangun atas dasar konflik dan Marx lebih tertarik pada bagaimana suatu kelompok dalam masyarakat mempertahankan dominasinya terhadap kelompok lain. Jika melihat kembali masalah Dr. Terawan dan IDI dari perspektif konflik, maka kita dapat menyimpulkan bahwa IDI berusaha mempertahankan dominasinya sebagai suatu organisasi tunggal kedokteran di Indonesia dan berusaha terlihat tegas agar semakin dipercaya masyarakat dengan memecat Dr. Terawan karena terapinya yang dinilai berbahaya bagi manusia. Akhirnya, hal ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara Dr. Terawan dan juga IDI.
Selain itu, analisa saya melihat bahwa Dr. Terawan dan juga IDI terdapat konflik yang disebabkan oleh politik. Diketahui bahwa Dr. Terawan adalah mantan Menteri Kesehatan RI yang juga memiliki pengaruh politik yang kuat sehingga dapat terpilih menjadi salah satu pejabat negara. Tidak hanya itu, beliau juga sebagai purnawirawan TNI yang memiliki dua bintang sehingga keterpercayaan publik padanya sangat kuat. Perbedaan ideologi dan juga kepentingan di antara keduanya yang akhirnya menimbulkan konflik hingga saat ini. Jika merujuk pada teori totalitas Karl Marx bahwa struktur masyarakat sendirilah yang membuat konflik dan ketidakserasian menjadi tak terelakkan. Ketidakserasian antara jalan baik pikiran maupun tindakan yang diambil IDI dan Dr. Terawan terkait metode cuci otak membuat konflik ini menjadi semakin berkepanjangan. Struktur ini juga yang pada akhirnya menimbulkan konflik karena terjadi keputusan satu pihak yang menyebabkan publik terpecah menjadi kubu pro dan kontra. Padahal jika kita membawa konflik ini pada jalur personal dan kekeluargaan pastinya akan dapat diambil jalan tengah yang menguntungkan bagi kedua pihak. Namun, lagi-lagi struktur dalam organisasi yang menjadikan masalah ini membentuk konflik.
Baca Juga: Pengaruh Ulama Dalam Kontestasi Politik di Pulau Lombok
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena dilakukan dengan paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Dari teori ini dapat dilihat bahwa IDI memaksakan pemecatan yang dilakukannya pada Dr. Terawan karena memiliki “power” atau kekuatan sehingga dapat melakukannya. Hal ini juga yang membuat IDI seakan seenaknya mendominasi dalam melakukan pemecatan terhadap anggotanya tanpa ada proses panjang terlebih dahulu. Power ini juga yang dimanfaatkan demi melakukan penindakan agar terjadi keteraturan dalam masyarakat sekaligus dalam organisasi.
Kesimpulan dari studi kasus polemik Dr. Terawan dan organisasi Ikatan Dokter Indonesia adalah konflik bisa terjadi karena perbedaan pandangan, ideologi sekaligus jalan di antara dua individu atau kelompok. Dr. Terawan percaya dengan metode cuci otaknya yang berhasil mengobati puluhan ribu orang di Indonesia, sedangkan IDI percaya bahwa metode cuci otak yang dilakukan oleh Dr. Terawan masih cacat ilmiah sehingga kesahihannya dipertanyakan. Perbedaan pola pandangan inilah yang pada akhirnya menghasilkan konflik antara Dr. Terawan dan juga Ikatan Dokter Indonesia sampai saat ini sehingga memutuskan pemecatan sepihak yang dikeluarkan pada Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh. Terakhir, Konflik seharusnya menjadi perkara yang konstruktif dan bukan malah menimbulkan hal-hal destruktif hanya karena terdapat kepentingan semata.
Referensi:
Tirto.id (2018, 9 April). Di Balik Alasan IDI Memecat Dokter Terawan. Diakses pada 22 Mei 2022, dari https://tirto.id/di-balik-alasan-idi-memecat-dokter-terawan-cHrA.
CNN Indonesia (2022, 1 April). Polemik Terapi “Cuci Otak” Terawan, Diminta Setop Sejak 2018. Diakses pada 22 Mei 2022, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220401063439-20-778694/polemik-terapi-cuci-otak-terawan-diminta-setop-sejak-2018.